Aksi anarkis, seperti pembakaran asrama Brimob pada Rabu (22/5) dini hari, menjadi isu krusial yang mengancam keselamatan publik dalam sebuah demonstrasi.
Meskipun unjuk rasa merupakan hak warga negara, tindakan kekerasan yang menyertainya seperti perusakan fasilitas umum, pelemparan batu, hingga pemukulan terhadap aparat, sering kali memicu pertanyaan mendalam tentang apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut.
Faktor Kecenderungan Tindakan Anarkis
Dalam Klik Dokter disebut beberapa faktor, termasuk biologis, psikodinamik, dan sosial, dapat berkombinasi dan meningkatkan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan anarkis.
Para ahli mengidentifikasi bahwa riwayat keluarga yang penuh kekerasan, yang mungkin disebabkan oleh fenomena poligenetik, dapat memengaruhi perilaku agresif seseorang.
Faktor psikososial juga memainkan peran penting. Menurut teori pembelajaran sosial (social learning theory), perilaku kekerasan adalah hasil dari pengalaman masa lalu dan pengaruh lingkungan.
Lain itu, paparan berlebihan terhadap kekerasan di media dapat menyebabkan desensitisasi atau membuat seseorang menjadi kurang peka terhadap kekerasan.
Alkohol dan Narkoba Turut Berperan
Di samping itu, penggunaan zat terlarang seperti alkohol dan narkoba secara signifikan meningkatkan risiko perilaku kekerasan.
Kombinasi alkoholisme dengan gangguan kepribadian antisosial bahkan dapat melipatgandakan kemungkinan seseorang melakukan tindakan kriminal.
Tidak hanya itu, sejumlah gangguan psikiatri, termasuk gangguan psikotik dan stres pasca-trauma, juga dapat memicu tindakan kekerasan.
Pada pasien psikotik, halusinasi yang dialami dapat menjadi pemicu perilaku agresif. Perilaku kekerasan dalam kelompok, seperti saat demonstrasi, memerlukan pemeriksaan lebih mendalam karena kecenderungan ini belum tentu muncul saat seseorang sendirian.
Secara keseluruhan, fenomena anarkisme dalam demonstrasi merupakan isu kompleks yang berakar dari berbagai faktor.
Memahami penyebabnya, baik dari aspek genetik, psikososial, maupun pengaruh zat adiktif dan gangguan mental, menjadi kunci untuk merumuskan solusi yang tepat guna mencegah kekerasan dan mendorong unjuk rasa yang damai.