Ambisi Indonesia di Panggung Global, Sebuah Janji yang Terus Dipertanyakan

Kamis, 25 September 2025

Dalam forum bergengsi di markas PBB, Presiden Prabowo kembali menegaskan ambisi besar Indonesia di mata dunia.

Berpidato di urutan ketiga dalam Sidang Umum PBB di New York, ia menyatakan keinginan kuat Indonesia untuk menjadi aktor global dalam menangani krisis iklim dan pangan.

Pidato ini, yang menandai kembalinya Presiden Indonesia berpidato setelah 10 tahun, menyoroti pencapaian swasembada beras dan komitmen ambisius seperti reforestasi 12 juta hektare lahan dan target nol emisi pada 2060.

Namun, di balik narasi yang memukau tersebut, sejumlah organisasi masyarakat sipil di Tanah Air justru melihat adanya kontradiksi antara janji di panggung global dengan realita di dalam negeri.

Para aktivis menilai, pidato tersebut belum menyentuh akar permasalahan yang sesungguhnya dan terasa jauh dari kehidupan masyarakat yang terdampak langsung oleh perubahan iklim.

Kritik ini bukan tanpa dasar. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa tantangan krisis iklim dan pangan masih menjadi persoalan serius.

Alih-alih merayakan swasembada, masyarakat justru menghadapi kesulitan sehari-hari, mulai dari petani dan nelayan yang kesulitan menghadapi cuaca tak menentu, hingga masyarakat rentan yang paling terdampak.

Antara Data dan Realita di Lapangan

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa luas lahan sawah di Indonesia terus menurun, dari 10,21 juta hektare pada 2023 menjadi 10,05 juta hektare pada 2024.

Penurunan ini berdampak langsung pada jumlah panen, yang juga ikut turun dari 53,98 juta ton menjadi 53,14 juta ton.

Kondisi ini diperparah dengan harga beras yang terus melambung di berbagai daerah, bahkan di Jayapura dan Merauke, harga beras per kilogramnya menembus angka Rp18.000, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Fenomena ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara klaim pemerintah dengan fakta yang ada di tengah masyarakat. Jaya Darmawan, peneliti dari CELIOS, menggarisbawahi hal tersebut.

“Realitanya sawah berkurang dan harga beras dalam negeri terus melambung.”

Jaya Darmawan, Peneliti CELIOS

Ambisi Lingkungan yang Belum Terkoneksi ke Lapangan

Selain isu pangan, janji Indonesia untuk mengatasi krisis iklim juga dipertanyakan.

Hingga saat ini, Indonesia belum menyerahkan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) ke PBB, padahal tenggatnya telah lewat pada 20 September 2025.

Menurut Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, solusi krisis iklim tidak bisa diselesaikan hanya dengan pendekatan teknis.

Ia menekankan bahwa akar masalahnya adalah ketidakadilan dan ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya.

Riset CELIOS 2024 yang menunjukkan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta rakyat Indonesia, menjadi bukti nyata kesenjangan yang ada.

Nadia menegaskan bahwa 56% kekayaan orang-orang terkaya tersebut berasal dari sektor ekstraktif, yang sering kali merusak lingkungan.

Ia pun menyayangkan pidato Presiden yang tidak menyinggung isu pendanaan iklim dan skema seperti Tropical Forest Forever Facility (TFFF) yang diusung oleh Brasil.

"Reforestasi penting, tapi lebih penting lagi mencegah deforestasi ke depan."

"Mengapa cara pandangnya langsung lompat ke solusi teknis dan tidak menelaah akar masalah tentang pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati."

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan

Konsistensi Energi Terbarukan dan Kontradiksi Kebijakan

Komitmen Indonesia terhadap energi terbarukan juga dinilai tidak konsisten.

Saffanah Azzahra, peneliti dari ICEL, menyoroti bahwa target bauran energi terbarukan Indonesia justru mundur.

Menurut Kebijakan Energi Nasional (KEN) terbaru, target energi terbarukan hanya 19-23% pada 2030, padahal sebelumnya targetnya 23% pada 2025.

Ia juga mengkritik penggunaan teknologi co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, yang diklaim mampu mengurangi emisi.

"Ambisinya lebih rendah dari sebelumnya. Dengan dominasi energi fosil 79% pada 2030 – yang 50% dari batu bara – target Paris Agreement, menjaga kenaikan suhu dibawah 1,5 derajat celcius mustahil tercapai."

"Mengapa cara pandangnya langsung lompat ke solusi teknis dan tidak menelaah akar masalah tentang pengelolaan sumber daya dan keanekaragaman hayati."

Saffanah Azzahra, Peneliti ICEL

Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, ambisi PLN untuk menerapkan co-firing di 52 PLTU berpotensi menciptakan deforestasi seluas 4,65 juta hektare.

Jaya Darmawan menambahkan, penerapan co-firing biomassa justru berbarengan dengan kenaikan produksi batu bara.

Ia menduga adanya praktik ilegal terkait ekspor palet kayu ke Jepang dan Korea, yang mengindikasikan adanya celah dalam kebijakan energi.

Retorika Diplomasi vs Realita HAM di Dalam Negeri

Tidak hanya soal iklim dan pangan, janji Presiden tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi sorotan.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai bahwa janji menjaga perdamaian dunia hanyalah retorika jika Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma dan Konvensi Pengungsi.

Menurut Usman, tanpa menjadi bagian dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), kecaman terhadap genosida di Gaza “hanya pepesan kosong”.

Ia menyarankan agar peran militer lebih difokuskan pada misi perdamaian internasional, bukan pada hal-hal seperti distribusi Makanan Bergizi Gratis (MBG) atau bertani.

Usman menekankan pentingnya konsistensi antara komitmen HAM di panggung global dengan kebijakan di dalam negeri.

Ia mencontohkan penahanan sejumlah aktivis HAM dan mahasiswa setelah demonstrasi Agustus 2025, yang dianggap mencederai komitmen tersebut.

“Kalau Indonesia tidak menjadi bagian dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC), kecaman genosida di Gaza tidak ada artinya sama sekali, hanya pepesan kosong.”

"Untuk apa memoles gincu di luar negeri, jika hak asasi manusia di dalam negeri diabaikan."

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia

Memulihkan Hutan dan Keadilan Sosial

Nadia juga menekankan bahwa solusi yang dibutuhkan adalah ekonomi restoratif.

Ia menyayangkan bahwa ambisi ekonomi pemerintah yang begitu tinggi justru bisa mengorbankan hutan dan keanekaragaman hayati.

Mengutip Antara, pada tahun 2024, luas lahan berhutan di Indonesia tercatat sekitar 95,5 juta hektare, atau setara dengan 51,1% dari total luas daratan.

Sebagian besar dari area berhutan ini, yaitu sekitar 91,9%, berada di dalam kawasan hutan.

Deforestasi netto (bersih) pada tahun 2024 mencapai 175,4 ribu hektare, hasil dari deforestasi bruto 216,2 ribu hektare dikurangi reforestasi 40,8 ribu hektare. 

Pada tahun 2021-2022, deforestasi netto adalah 104 ribu hektare. Angka 175,4 ribu hektare pada 2024 menunjukkan kenaikan jika dibandingkan dengan periode 2021-2022. 

Nadia pun menyoroti bahwa ambisi ketahanan pangan, terutama dari singkong dan jagung, tidak boleh mengancam keberadaan hutan yang masih ada.

Ia juga menyerukan pentingnya pensiun dini PLTU batu bara dan keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Konsistensi adalah Kunci

Dalam pidato yang penuh janji di PBB, Presiden Prabowo mencoba memposisikan Indonesia sebagai pemimpin global.

Namun, para aktivis dan peneliti mengingatkan bahwa diplomasi internasional hanya akan bermakna jika sejalan dengan komitmen yang kuat dan konsisten di dalam negeri.

Tanpa keadilan iklim, keadilan pangan, dan penghormatan HAM di dalam negeri, janji di panggung dunia hanyalah sebatas retorika.

Sumber:

  • CELIOS
  • Yayasan Madani Berkelanjutan
  • ICEL
  • Amnesty International Indonesia
  • Forest Watch Indonesia
  • Badan Pusat Statistik (BPS)
  • Antara News

 

Bagikan :

ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL POPULER