Insiden tewasnya seorang pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, yang terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat demonstrasi di Jakarta pada 28 Agustus menuai kecaman dari pakar hukum.
Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), menilai peristiwa ini sebagai bentuk kekerasan brutal oleh aparat dan mengategorikannya sebagai extrajudicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan.
Tindakan Serius Pelanggaran HAM
Menurut Satria, tindakan aparat yang menggunakan kendaraan lapis baja untuk melindas warga sipil yang tidak bersenjata adalah pelanggaran serius terhadap hukum dan hak asasi manusia.
Ia menekankan bahwa hal ini melanggar Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Lebih lanjut, Satria menyoroti bahwa tindakan represif ini merupakan pelanggaran konstitusional terhadap hak untuk hidup dan merasa aman yang dijamin oleh UUD 1945.
Ia juga menyebut insiden ini sebagai “alarm darurat HAM” yang menunjukkan kegagalan reformasi di tubuh Polri.
Desakan untuk Menuntaskan
Satria mendesak agar kasus ini tidak hanya ditangani oleh internal Polri, melainkan juga melalui penyelidikan independen oleh Komnas HAM untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Ia menegaskan bahwa penggunaan kekuatan oleh aparat, termasuk kendaraan taktis, diatur dalam Peraturan Kapolri dan hanya dibenarkan jika tidak ada alternatif lain untuk menghentikan kejahatan.
Dalam kasus ini, korban tidak sedang melakukan tindak kejahatan.
Ia menambahkan, kekerasan aparat yang terus berulang adalah bukti bahwa reformasi yang telah dijalankan selama ini belum menyentuh akar permasalahan, dan jika terus dibiarkan, akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia.
Statement:
Satria Unggul Wicaksana, Pakar Hukum UMSurabaya
“Peristiwa ini menunjukkan satu peringai brutal yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani aksi massa. Ini bukan pertama kalinya terjadi. Kita masih ingat tragedi Kanjuruhan, di mana ratusan nyawa hilang namun hanya berujung pada sanksi etik.”
“Alih-alih melakukan reformasi, tindakan semacam ini justru menegasikan empati dan tanggung jawab moral aparat sebagai pejabat publik yang dibayar oleh pajak negara.”
“Kalau kita lihat dalam konteks ini, korban tidak sedang melakukan tindak kejahatan, apalagi melawan. Ia justru menjadi korban dari penggunaan kekuatan yang eksesif dan tak proporsional. Ini jelas pelanggaran prosedur.”
“Reformasi Polri harus dilakukan secara menyeluruh. Kasus-kasus kekerasan oleh aparat yang terus berulang adalah bukti bahwa reformasi yang dijalankan selama ini belum menyentuh akar persoalan.”
“Kalau terus begini, kita tidak bisa berharap masa depan demokrasi Indonesia akan berjalan baik-baik saja.”