Orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar yang baru teridentifikasi, menghadapi ancaman serius, terutama dari konflik dengan manusia.
Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Zoologi Terapan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wanda Kuswanda, menegaskan bahwa upaya mitigasi konflik antara manusia dan satwa tersebut harus menjadi prioritas utama bagi berbagai pihak untuk mencegah kepunahan.
Spesies ini secara resmi diakui sebagai spesies terpisah dari orang utan Sumatra pada akhir tahun 2017. Menurut Daftar Merah IUCN, orang utan tapanuli berstatus Kritis (Critically Endangered), yang berarti sangat terancam punah.
Hal ini disebabkan habitatnya yang sangat terbatas, hanya ditemukan di Hutan Batangtoru di Provinsi Sumatra Utara. Populasinya diperkirakan hanya tersisa antara 577 hingga 760 individu.
Wanda menjelaskan bahwa habitat orang utan tapanuli terpisah dalam tiga blok habitat di wilayah Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
Sayangnya, satwa ini menyukai tanaman budi daya masyarakat, yang menjadi pemicu utama konflik. Oleh karena itu, prinsip dasar dalam mitigasi konflik adalah mengedepankan keselamatan bagi manusia dan orang utan itu sendiri, dengan tujuan mengurangi risiko kerugian dan korban.
Mewujudkan Koeksistensi Berkelanjutan
Untuk menciptakan keharmonisan antara manusia dan satwa liar, tentu diperlukan pendekatan yang adaptif. Direktur Belantara Foundation, Dolly Supriatna, mengemukakan pendekatan C2C (Conflict to Coexistence) sebagai solusi.
Pendekatan ini berfokus pada empat prinsip utama: menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, dan mengedepankan holisme.
Hasil yang diharapkan dari penerapan pendekatan ini adalah pelestarian satwa liar, perlindungan habitat, serta pengamanan mata pencaharian masyarakat.
Upaya perlindungan ini juga harus melibatkan strategi berbasis masyarakat lokal yang kini mulai berkembang. Associate Fellow Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia, Sundjaya, menekankan penggunaan etnografi sebagai langkah awal untuk memahami aspek sosial dan kultural masyarakat di sekitar hutan.
Ia menyatakan bahwa pemahaman mendalam ini dapat memperkuat strategi konservasi dan mengoptimalkan partisipasi aktif komunitas lokal dalam upaya pelestarian.
Selain itu, keberhasilan mewujudkan koeksistensi memerlukan perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan, manajemen konflik manusia-satwa liar yang efektif, penelitian ilmiah, dan dukungan kebijakan yang kuat di tingkat pusat maupun daerah.
Semua elemen ini harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kepentingan manusia dan kebutuhan orang utan dapat dipenuhi secara seimbang dan harmonis.
Pada akhirnya, pelestarian orang utan tapanuli bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan sebuah misi kolektif.
Dengan memprioritaskan mitigasi konflik, menerapkan pendekatan holistik, dan melibatkan masyarakat lokal, ada harapan untuk mencapai hidup berdampingan secara harmonis dan memastikan kelangsungan hidup spesies yang sangat terancam ini.
Statement:
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Wanda Kuswanda
“Terwujudnya koeksistensi sangat bergantung pada kita sebagai manusia yang mendapat amanah sebagai khalifah di bumi, dengan menyetarakan pemenuhan kepentingan manusia dan kebutuhan untuk orang utan.”
Direktur Belantara Foundation, Dolly Supriatna
“Hasil utama dari pendekatan ini adalah pelestarian satwa liar, hidup berdampingan, perlindungan habitat, dan mengamankan mata pencaharian dan aset masyarakat.”
Associate Fellow Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia, Sundjaya
“Saya mengatakan bahwa melalui analisis mendalam dan menyeluruh, etnografi dapat memperkuat strategi dan kebijakan konservasi.”