Kemenparekraf Dukung Pendekatan Saba Budaya, Bawa Baduy Keluar dari Wisata Massal

Senin, 8 September 2025

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendukung langkah masyarakat Baduy untuk mengubah pendekatan pariwisata di wilayah mereka dari “wisata massal” menjadi “Saba Budaya.”

Kemenparekraf menyarankan konsep pariwisata berkualitas atau wisata edukasi (edutourism) sebagai solusi atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh pariwisata konvensional.

Pendekatan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian budaya dan lingkungan, serta memastikan para pengunjung memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang adat istiadat Baduy.

Permintaan Masyarakat Adat Baduy

Permintaan untuk keluar dari daftar destinasi wisata Indonesia datang langsung dari Suku Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, pada 2020 lalu.

Melalui surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, mereka menyampaikan kekhawatiran atas arus wisatawan yang tidak terkendali.

Heru Nugroho, salah satu perwakilan lembaga adat Baduy, menyatakan bahwa kunjungan wisatawan yang masif telah menyebabkan masalah serius seperti pencemaran lingkungan, pelanggaran adat, dan masuknya pengaruh teknologi yang dianggap tidak baik bagi generasi muda.

Dampak Negatif Wisata Massal

Heru menjelaskan bahwa masalah-masalah tersebut sudah berlangsung lama. Puncak keresahan terjadi saat pandemi Covid-19, ketika kunjungan wisatawan mereda.

Kondisi sepi justru dirasakan sebagai kenyamanan oleh masyarakat Baduy, yang lantas memunculkan ide untuk menghapus status destinasi wisata.

Pelanggaran yang sering terjadi termasuk wisatawan yang mengambil foto sembarangan, mencoret-coret area sakral, hingga membuang sampah plastik.

Bahkan, masyarakat Baduy meminta Google untuk menghapus gambar-gambar mereka dari Google Maps, terutama di wilayah Baduy Dalam yang dianggap sakral.

Bantahan Adat dan Penggunaan Istilah “Saba Budaya”

Di sisi lain, Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija, membantah kabar bahwa masyarakat Baduy ingin wilayahnya dihapus dari daftar destinasi wisata, dan menyebut kabar tersebut sebagai “hoaks”.

Meskipun demikian, ia membenarkan bahwa masyarakat Baduy tidak pernah menyukai istilah “wisata Baduy” yang berkonotasi hiburan.

Sebaliknya, mereka lebih suka menggunakan istilah “Saba Budaya” atau “bersilaturahmi dengan Baduy,” yang menekankan pada kunjungan dengan rasa hormat dan keinginan untuk belajar.

Saba budaya Baduy (istimewa)

Kearifan Lokal vs. Pariwisata Modern

Jajang Gunawijaya, seorang akademisi antropologi, menjelaskan bahwa adat pikukuh yang dipegang teguh oleh masyarakat Baduy tidak sejalan dengan konsep pariwisata modern yang masif.

Aturan adat seperti “gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak” (gunung tidak boleh diratakan, lingkungan jangan dirusak) membuat masyarakat Baduy tidak merancang wilayah mereka untuk pariwisata.

Selain itu, Meutia Farida Hatta Swasono, Guru Besar Antropologi UI, menambahkan bahwa masalah utama adalah ketidakpahaman wisatawan tentang hal-hal sakral yang tidak boleh dilanggar.

Baduy Luar sebagai “Penampung” Budaya

Terakhir, artikel ini menyoroti paradoks yang terjadi di Baduy, di mana Baduy Luar seolah “dikorbankan” sebagai penampung untuk melindungi Baduy Dalam.

Di Baduy Luar, kepatuhan terhadap adat mulai mengalami pergeseran. Akses ke barang elektronik dan pembayaran digital berbasis QR-Code menjadi hal lumrah, menunjukkan dampak interaksi intensif dengan dunia luar.

Namun, menurut Jajang, harga yang harus dibayar untuk melindungi Baduy Dalam ini terlalu mahal, mengingat kerusakan lingkungan dan ancaman psikologis yang terjadi pada masyarakat Baduy.

Kutipan Narasumber

Perwakilan lembaga adat Baduy, Heru Nugroho

“Mereka itu kan merasa enak banget gak ada orang ke sini, meskipun tetap ada orang yang datang. Tapi jadi nyaman buat mereka, sehingga mereka berpikiran sudah wisatawan dihapus saja.”

“Pemda kurang konsisten melaksanakan aturan-aturan yang sudah disepakati dengan masyarakat Baduy, dengan lembaga adat. Jadi orang asal masuk, yang akhirnya bawa sampah, merusak lingkungan, kasih pengaruh ke generasi muda Baduy, diajarin FB, IG.”

Jaro Saija

“Kalau [timbul kekhawatiran budaya dan lingkungan Baduy rusak] itu bukan hanya jadi tanggung jawab tamu yang datang, tetapi juga saya selalu mengingatkan orang Baduy sendiri untuk (terus menerus) menjaga adat dan lingkungan.”

Akademisi antropologi, Jajang Gunawijaya

“Jika seseorang atau kelompok orang menyatakan lingkungannya sebagai tujuan wisata, mereka harus memiliki penanganan dampak wisata. Baduy, tidak memilikinya. Tidak pula memiliki pranata wisata atau norma tentang pariwisata.”

Guru Besar Antropologi UI, Meutia Farida Hatta Swasono

“Ada simbol dan makna milik masyarakat Baduy dan hal-hal sakral yang tidak boleh dilanggar, yang sayangnya orang luar tidak paham. Dan yang jelas, mereka bukan tontonan! Contohnya, Arca Domas itu, kan, sakral banget bagi masyarakat Baduy.”

Bagikan :

ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL POPULER

KONTAK KAMI

email: redaksi@genlink.co.id

phone: +62 812-345-6789

ALAMAT

Jl. Daan Mogot 2 No.100MN, Duri Kepa

Kebon Jeruk, Jakarta Barat, 11510